Wali Nikah
Diadaptasi dari postingan status Facebook KH. M. Zainur Rahman Hammam
almuqrimultimedia
4/30/20242 min baca


WALI NIKAH
--------------------
©1444/10/05/Rabu
Bi-smi-Llāh...
Bulan syawal bukan hanya bulan kembali ngopi-ngudud pagi-pagi setelah sebulan sebelumnya puasa menahan diri, tapi juga bulan menikah. Bulan yang selayaknya membahagiakan bagi kaum jomblo yang selama ini 'puasa' bertahun-tahun, bahkan mungkin ada yang nyaris kadaluarsa, untuk 'berlebaran' di pelaminan; di pelaminan nyata maksud saya, bukan pelaminan mimpi atau halusinasi. Semoga ada kawan jomblo yang menyadari hal ini sepenuhnya, yagesya?
Salah satu syarat sah akad nikah adalah adanya wali calon isteri yang berhak secara syara' untuk menikahkan atau mewakilkannya. Kesalahan penentuan wali berisiko berat: akad nikahnya tidak sah.
Pada dasarnya yang berhak menjadi wali nikah seorang wanita adalah para lelaki kerabat dekatnya yang dalam istilah fikih disebut kerabat "ashabah"¹, dengan pola ke atas (ayah dst) lebih dahulu, lalu ke samping (saudara), ke bawah (keponakan), kemudian kembali ke atas (paman), ke samping (sepupu), ke bawah (ponakan sepupu), begitu seterusnya. Konsep utamanya, sekali lagi,
• wajib kerabat lelaki dari jalur lelaki;
• memprioritaskan yang sekandung daripada yang seayah.
Secara detil, dalam Al Miftāh Li Bāb An Nikāh karya al 'Allāmah al Habīb Muhammad bin Sālim bin Hafīdz BSA, di halaman 4-5, tertulis urutan wali nikah yang kesimpulannya sebagai berikut:
1. Ayah (kandung); lalu
2. Kakek (ayahnya ayah) terus ke atas; lalu
3. Saudara lelaki sekandung; lalu
4. Saudara lelaki seayah; lalu
5. Keponakan lelaki (putra dari saudara lk.) sekandung; lalu
6. Keponakan lelaki (putra dari saudara lk.) seayah; lalu
7. Ke bawah no. 5; lalu
8. Ke bawah no. 6; lalu
9. Paman (saudara ayah) sekandung; lalu
10. Paman (saudara ayah) seayah; lalu
11. Sepupu lelaki sekandung (putra dari no. 9); lalu
12. Sepupu lelaki seayah (putra dari no. 10); lalu
13. Ke bawah no. 11; lalu
14. Ke bawah no. 12; lalu
15. Pamannya ayah; lalu;
16. Paman sepupu (Sepupunya ayah); lalu
17. Ke bawah no. 15; lalu
18. Ke bawah no. 16; lalu
19. Pamannya kakek; lalu
20. Sepupunya kakek (putra dari no. 19) terus ke bawah; lalu
21. Pamannya ayahnya kakek; lalu
22. Sepupunya ayahnya kakek (putra dari no. 21); terus ke bawah.
23. Begitu seterusnya dengan tetap memperhatikan 2 konsep utama di atas.
Artinya, jika tidak terdapat wali urutan di atasnya (baik memang karena tidak ada, atau wafat, atau berhalangan seara syarak, BUKAN karena tidak diketahui kabarnya), maka hak perwalian pindah ke nomor urut berikutnya, al aqrab fa-l aqrab.
Nah, manakala para ahli waris ashabah ini tidak ada sama sekali, barulah hak perwalian itu beralih ke HAKIM (atau pejabat nikah yang berwenang), lalu MUHAKKAM (orang yang diangkat oleh calon pasutri untuk menikahkan mereka).
Wa-Llāhu a'lam bi-sh shawāb... (ZRvH)
____________
¹) yaitu para ahli waris yang bagian warisannya tidak ditetapkan secara pasti, namun bisa mendapat semua harta warisan atau sisanya setelah harta warisan itu dibagi kepada ahli waris dzawi-l furūdh.